Sembalun, Desa Penghujung di Gunung Rinjani

11.14 jaka thinker 0 Comments

Pintu gerbang kawasan rumah adat Desa Sembalun

Dalam lawatan (duh lawatan , pejabat brow?!) kali ini, rombongan empat sekawan kalima panjer masih di beri kesempatan untuk mengunjungi desa Sembalun, Bagi para pendaki, desa ini sudah tidak asing lagi, karena Desa Sembalun adalah salah satu pintu masuk jalur pendakian gunung Rinjani. Kami ke sini bukan  untuk mendaki, karena kami memang bukan pendaki, kami hanyalah sekumpulan pemuja ketiba-tibaan, tiba-tiba ada yang ngajak, tiba-tiba ada penginapan gratis, dan tiba-tiba kami sudah sampai Desa Sembalun, sebuah desa paling ujung di lereng gunung Rinjani Lombok.

Beruntung karena kami punya teman yang kenal dekat dengan tetua adatnya disana, jadi kami bisa ngobrol tentang segala hal yang berhubungan dengan sembalun, termasuk sejarah dan mitos penghuni pertama desa ini. tidak ketinggalan juga Pak Tetua Adat memerkan keahliannya nembang sambil menghirup kopi panas. entah siapa yang akan mewarisi keahlianya itu. Tidak salah memang kalau bangsa kita dikenal bangsa yang "ramah".

 menikmati kopi panas sambil mendengarkan tembang khas Sembalun dari Pak Tetua Adat

Secara wilayah desa ini tebagi jadi dua, yaitu Desa Sembalun Bumbung, yang kami datangi dan Desa Sembalun Lawang, yang belum kami sempat kunjungi.  Kata sembalun sesungguhnya berasal dari bahasa jawa kuno yang terdiri dari dua suku kata yakni kata “ SEMBAH” dan “ULUN” kata Sembah mengandung makna menyembah/menyerah diri/mematuhi/taat, dan Ulun , dari kata dasar Ulu yang berarti kepala / atas / atasan / pemimpin.makna lain yang terkandung dari kata sembahulun adalah : bahwa orang sembalun berkewajiban untuk menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan pemelihara alam dan manusia wajib mentaati segala ketentuan – ketenuan kepercayaan yang di anut, Setiap orang Sembahulun wajib mentaati dan mematuhi pemimpin–pemimpinnya, juga bahwa setiap orang sembahulun mempunyai kewajiban untuk selalu taat kepada adat leluhurnya selain taat kepada Yang Maha Esa dan kepada Pemimpinnya. Masyarakat Sembahulun yang sekarang adalah masyarakat generasi kedua, dikisahkan pada suatu masa jaman baheula Gunung Rinjani pernah meletus dan menghancurkan desa ini, sebagian warga yang selamat akhirnya mengungsi. Setelah letusan mereda ada tujuh orang kepala keluarga yang kembali ke daerah sini. Tujuh orang inilah yang menjadi cikal bakal generasi kedua/sekarang yang menghuni desa Sembalun.

Begitu kira-kira kisah yang disampaikan Pake Tetua Adat, tak terasa malam semakin merengsek ke pagi, akhirnya kami di persilahkan istirahat di mushola, warga kampung lainnya dengan sukarela menyumbang selimut dan bantal untuk kami pergunakan, saya sendiri berdoa agar tidak meninggalkan bekas pulau abstrak di bantal.

Udara dingin memaksa kami untuk tidak lama-lama dalam gendongan malam, akhirnya kami bangun karena tidak kuat menahan udara dingin, Siangnya seperti yang sudah dijadwalkan setelah kami sarapan, kami menuju pelataran padang savana untuk melukis. Gunung Rinjani sangat jelas disini, kebetulan hari itu cuaca cerah ceria, sehingga kami dapat memandangnya dengan leluasa. 

Lama juga saya harus menemukan ide mau melukis apa, melukis realis? pemandangan apa adanya? atau naturalis, mengambil bagian yang indah-indahnya saja? ah itu sudah biasa. banyak orang yang mampu melakukannya. Setelah yang lain sudah hampir selesai, akhirnya dapat juga ide dari hasil perenungan bercampur ngelamun, biasa kalau sudah kepepet otak dan perasaan mau melakukan akselerasi dengan semangat untuk mencari ide. Namun sayang saya hanya bisa menyelesaikan pada tahap seketsa karena sore hari kami sudah harus kembali ke Mataram. 

Inilah hasil dari perenungan tadi.

Pada karnya ini saya berimajinasi bahwa tidak ada yang kekal dalam hidup ini termasuk semua bentuk keindahan kecuali hanya Sang Pencipta. Seperti juga Rinjani (saya masih bertanya kenapa gunung ini dinamakan Rinjani) dan gunuing-gunung lainnya suatu saat akan mengalami ketidak abadian. 

Saya membayangkan kalau Gunung Rinjani dan gunung-gunung lainnya adalah sebuah pesawat dari alam entah berantah yang di pasang di bumi untuk mengatur dan memproduksi sirkulasi air.
terbukti bahwa pulau-pulau yang ada pada garis cincin api adalah daerah yang subur. Nah ada kalanya pesawat  itu harus turun mesin atau refresh untuk memperbaharui kinerjanya, jadilah semacam letusan gunung. Tidak dapat disangkal juga bahwa setelah letusan, dalam beberapa dekade daerah yang terkena letusan tersebut akan kembali subur seperti semula. Untuk ukuran waktu manusia memang memerlukan waktu yang sangat lama untuk kembali pada keadaan seperti itu, namun bagi alam semesta itu adalah hal perlu dilakukan karena itu sudah bagian dari sistem.

Maka pada karya ini saya kasih judul "Jika Rinjani Ingin Pergi". Sebenarnya simpel pesan yang ingin saya sampaikan, mari kita menjaga lingkungan/alam, kalau tidak dengan menanam bersihkanlah, kalau tidak mampu membersihkan doakan dan hindari. Tak salah orang-orang tua kita dulu melarang memasuki daerah yang dikeramatkan. Itu sebenarnya tidak ada bedanya dengan gerakan sekarang seperti Greenpeace atau Global Warming. Kalau orang tua dulu memberi peringatan lewat keyakinan, orang sekarang lewat kesadaran.

begitulah kira-kira hasil dari perenungan bercampur lamunan selama berada di Desa Sembalun Bumbung.
Smapai jumpa Sembalun dan Rinjani, kalau ada sumur diladang bolehlah kita numpang mandi lagi





0 komentar: