Di Bungin, Pulau Terpadat di Dunia, ada Tarian Penyembuh


Setelah merasakan percintaan pertama dengan Gili Trawangan, dan memeluk kesunyian dengan Gili Meno, sekarang saatnya menikmati riuhnya pulau Bungin yang digadang-gadang pulau terpadat di dunia.

Jauh sebelum menginjakan kaki ke pulau ini saya pernah lihat di TV tentang Bungin ini. Hanya sepenggal yang saya dapat  tentang bagaimana pemuda disana melamar pujaan hatinya, adalah dengan mengumpulkan batu karang dan menumpuknya di pinggir pulau tersebut. untuk nantinya dibuat pondasi rumah. Tidak berlebihan memang kalu pulau ini disebut pulau terpadat di dunia. Bahkan kalau menurut saya pulau ini lebih cocok pulau bisul, makin lama makin membengkak.

menurut cerita, pulau ini dulunya adalah sebuah tumpukan pasir putih yang dijadikan tempat peristirahatan nelayan dari suku Bajo yang berasal dari Sulawesi. Kita tahu suku Bajo ini adalah suku yang memang hidupnya dilaut. dan mereka tersebar di beberapa kepulauan nusantara, termasuk yang ada di wilayah Sumbawa ini.

Sebelum sampai ke pulau Bungin, kami mampir di Pelabuhan Mapin karena memang untuk menuju ke Pulau Bungin harus melewati pelabuhan ini. Ada juga jalur lewat darat, cuman katanya medannya masih berat, kami disarankan untuk memakai jalur laut. Disamping itu juga kawan saya ini punya kenalan mantan kepala desa Mapin dan anaknya ikut dalam rombongan kami, Jadilah kami dijamu dengan ikan laut yang masih segar, terutama cumi (bukan cumi lebay) kesukaan saya.

Hari kedua di pelabuhan Mapin ternyata kami belum bisa berangkat karena sesuatu dan lain hal,  baru keesaokan harinya kami berangkat dengan menyewa kapal kecil, itu juga cuman untuk ganti bensin, karena yang punya mantan kepala desa tadi. Kalau ga salah perjalanan hanya butuh waktu sekitar satu setengah jam, kamipun disambut salah seorang warga kampung yang sudah di kontak sebelumnya.

selagi kami beristirahat di rumah penduduk tadi, sekonyong-konyong ada segerombolan anak-anak kecil seperti sedang pawai, dengan suara yang lumayan berisik melewati kami , dengan penasaran salah satu dari kami  bertanya, Rupanya mereka baru menemukan benih pohon mangga yang baru tumbuh tunasnya. Disini memang tidak ada satupun pohon, jadi tidak heran mereka begitu antusias. Selain itu disini kambing makan kertas, kadang kain yang sedang di jemur, walaupun sudah dikasih tau sebelumnya tetap aja takjub ketika melihatnya langsung.

Hari itupun kami berkeliling melihat-lihat suasana kampung, tidak semua rumahnya berbentuk panggung seperti rumah nenek moyang suku bajo, ada juga yang sudah menggunakan rumah tembok. Ada sekelompok gadis lumayan manis2 dan centil, saya  pikir mereka ingin difoto, ternyata bukan, mereka mengira kami dari team Bedah Rumah seperti yang ada di tv..GUBBBRAK.,! Pantas aja mereka menunjuk-nunjuk rumah yang sudah rusak, Kadang-kadang memang tontonan tv membuat pola pikir masyarakat menjadi instan.

Malam harinya kami  diundang untuk melihat upacara prosesi penyembuhan ala suku Bajo, kalau di jawa mirip dengan ruwatan. Duata begitu nama dari upacara ini, yang didominasi oleh perempuan dengan tari-tarian. Seperti tari-tari tradisional pada umumnya saya lebih tertarik dengan filosopi yang terkandung di dalamnys, dengan bentuk dan sajian yang ada. Mulailah saya bertanya tanya bak seorang wartawan.

Duata yang berarti dewata, merupakan dewa dalam kepercayan suku Bajo yang turun dari langit dan menjelma menjadi manusia. Prosesi Duata adalah puncak dari upaya pengobatan tradisional suku Bajo untuk mengobati orang yang sakit keras atau sudah mentok tidak bisa disembuhkan dengan pengobatan jenis lain, termasuk pengobatan medis.

Dalam kasus pengobatan yang kami lihat kali ini adalah seorang pemuda yang merasa dirinya berada dalam keadaan tidak beruntung, atau merasa segala yang telah dilakukannya belum membuahkan hasil, mungkin lebih ke spirit kali ya. Prosesi ini di lakukan dirumah panggung yang punya hajat, ruangan cukup sempit sekitar 5 X 6 m, disitu sudah terlihat sesajen, para penabuh musik, dukun seorang perempuan tua, si pesakitan dan satu orang penari.

Musikpun mulai berbunyi serba konstan, dari tabuhan kendang, suling, dan satu alat musik gamelan. Sementara dukun mulai merapal doa atau mantra (karena saya ga paham) si wanita mulai menari, beberapa saat kemudian ruangan semakin rame, tidak lama beberapa gadis mulai menyusul untuk menari. Waktu saya tanya ke orang sebelah, ternta gadis-gadis itu datang dengan sendirinya, Suara musiklah yang memanggil mereka, seperti tubuhnya terbius untuk datang ke sumber suara. Makin lama tariannya semakin menggila, bahkan ada yang kesurupan segala, ada yang marah- marah mlulu, ada yang nari tapi sambil nangis, ada juga yang senyam-senyum sendiri, yang ini saya suka, selain cantik nampaknya lirikan matanya mengarah ke arah kami geer dot com lah.

Katanya prosesi ini bisa sampai pagi dan bisa dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam, tergantung keadaan si pesakitan. Kalau dalam dua hari dia sudah dinyatakan sembuh oleh dukunnya maka prosesi itu sudah dianggap selesai, mengenai cara menilai sembuh atau tidaknya saya belum sempat bertanya-tanya, karena kawan saya sudah mengajak pulang, memang dia hanya mengambil dan merekam gambar prosesi itu, dan sudah dianggap selesai.

Dan kami kembali kerumah yang tadi kami tumpangi, sambil tak lupa pamitan untuk tidur. Setelah badan rebah sayapun berdoa semoga diberi kesembuhan yang tak berkesudahan, sambil berharap ketemu gadis penari tadi dalam mimpi..zzzzzzzz






Membelah Lombok, Pulau Seribu Masjid


Tulisan ini merupakan catatan perjalan kami ketika akan berkunjung ke pulau Bungin, rasanya pantas juga untuk di ceritakan, ada hal-hal yang menarik buat saya. Lombok masuk ke dalam wilayah Nusa Tenggara Barat. Daerah ini banyak sekali tempat wisata, terutama pantainya. Tak kalah sebenarnya dengan Bali, cuman pengelolaan dan kesadaran masyarakat disini belum sebaik Bali.

Tujuan kami di Lombok memang bukan untuk wisata, tapi untuk memenuhi undangan dari seorang teman agar kami tinggal dan berproses kesenian disana, dalam hal ini seni rupa selama kurang lebih dua bulan. Kalau istilah kerennya "Resindency". Saya jelaskan sedikit Residency dalam istila senirupa adalah sebuah program dimana seorang seniman melakukan kegiatan atau membuat suatu karya dan mempresentaikannya atas undangan organisasi atau perorangan lainnya di tempat yang mereka tentukan. Biasanya yang sering banyak membuat acara seperti ini adalah lembaga-lembaga kesenian. Kalau di barat sana ini bukan hal yang baru. Ada dua jenis kegiatan residency ini, yang pertama atas undangan penyelenggara, yang model seperti ini semua biaya ditanggung panitia. Yang kedua kita yang mengajukan tproposal, kalau yang ini kebanyakan biaya sendiri, namun ada juga yang dibiayai panita.
Pasukan anti haru-haru
Dari Mataram kami memulai perjalan menuju pulau Bungin dengan menggunakan sepeda motor. Dengan kendaraan ini kita jadi lebih leluasa untuk melihat-lihat pemandangan sepanjang jalan yang kita lewati. Kamipun disuguhi dengan berbagai macam pemandangan yang bagi saya merupakan hal yang istimewa karena baru melihatnya. masjid-masjid berarsitektur modern berjejer tidak mau berjauhan, seakan akan lombok ini negeri dengan seribu masjid, tidak berlebihan memang kalau mereka mengklaim seperti itu, 90% penduduk yang mendiami pulau ini beragama Islam, luas dari pulau ini sekita 4.500 kilometer persegi, dan masjid yang ada disini sekitar 3.500, jadi pada tiap satu kilometernya terdapat 1 masjid yang rata-rata desain arsitekturnya hampir sama bergaya modern.  Dan konon katanya Raja Dangdut kita bang Rhoma pernah beberapa kali menjadikan Lombok ini untuk lokasi shuting film-filmnya.


Perkebunan tembakau juga salah satu yang bisa kita saksikan disepanjang jalan. Tembakau nampaknya jadi andalan hasil perkebunan masyarakat disini.Terbukti dengan adanya kantor khusus cabang HTM SAMPOERNA. bahkan di sebelah timur pulau ini ada tulisan Sampoerna lumayan cukup besar seperti tulisan Holywood di LA sana.

Di Lombok Timur kami sempat mampir sebentar ke rumah seorang kawan , temanya dari sahabat saya (sahabt saya ini memang banyak temennya). Sambil beristirahat dan ngobrol kami disuguhi kopi hitam, gila beneer kopinya sangat tebal, hampir memenuhi separo gelas!. Ternyata disini lebih parah dari budaya ngopi di Jawa Timur. Setelah menghabiskan secangkir kopi sampai ludes, bukan keran kami rakus, tapi ini sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah, kami pun melanjutkan perjalanan sampai Pelabuhan Kayangan. Untuk selanjutnya menyebrang ke pulau Sumbawa dan pulau Bungin sebagi tujuan utama kami.





Sembalun, Desa Penghujung di Gunung Rinjani

Pintu gerbang kawasan rumah adat Desa Sembalun

Dalam lawatan (duh lawatan , pejabat brow?!) kali ini, rombongan empat sekawan kalima panjer masih di beri kesempatan untuk mengunjungi desa Sembalun, Bagi para pendaki, desa ini sudah tidak asing lagi, karena Desa Sembalun adalah salah satu pintu masuk jalur pendakian gunung Rinjani. Kami ke sini bukan  untuk mendaki, karena kami memang bukan pendaki, kami hanyalah sekumpulan pemuja ketiba-tibaan, tiba-tiba ada yang ngajak, tiba-tiba ada penginapan gratis, dan tiba-tiba kami sudah sampai Desa Sembalun, sebuah desa paling ujung di lereng gunung Rinjani Lombok.

Beruntung karena kami punya teman yang kenal dekat dengan tetua adatnya disana, jadi kami bisa ngobrol tentang segala hal yang berhubungan dengan sembalun, termasuk sejarah dan mitos penghuni pertama desa ini. tidak ketinggalan juga Pak Tetua Adat memerkan keahliannya nembang sambil menghirup kopi panas. entah siapa yang akan mewarisi keahlianya itu. Tidak salah memang kalau bangsa kita dikenal bangsa yang "ramah".

 menikmati kopi panas sambil mendengarkan tembang khas Sembalun dari Pak Tetua Adat

Secara wilayah desa ini tebagi jadi dua, yaitu Desa Sembalun Bumbung, yang kami datangi dan Desa Sembalun Lawang, yang belum kami sempat kunjungi.  Kata sembalun sesungguhnya berasal dari bahasa jawa kuno yang terdiri dari dua suku kata yakni kata “ SEMBAH” dan “ULUN” kata Sembah mengandung makna menyembah/menyerah diri/mematuhi/taat, dan Ulun , dari kata dasar Ulu yang berarti kepala / atas / atasan / pemimpin.makna lain yang terkandung dari kata sembahulun adalah : bahwa orang sembalun berkewajiban untuk menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan pemelihara alam dan manusia wajib mentaati segala ketentuan – ketenuan kepercayaan yang di anut, Setiap orang Sembahulun wajib mentaati dan mematuhi pemimpin–pemimpinnya, juga bahwa setiap orang sembahulun mempunyai kewajiban untuk selalu taat kepada adat leluhurnya selain taat kepada Yang Maha Esa dan kepada Pemimpinnya. Masyarakat Sembahulun yang sekarang adalah masyarakat generasi kedua, dikisahkan pada suatu masa jaman baheula Gunung Rinjani pernah meletus dan menghancurkan desa ini, sebagian warga yang selamat akhirnya mengungsi. Setelah letusan mereda ada tujuh orang kepala keluarga yang kembali ke daerah sini. Tujuh orang inilah yang menjadi cikal bakal generasi kedua/sekarang yang menghuni desa Sembalun.

Begitu kira-kira kisah yang disampaikan Pake Tetua Adat, tak terasa malam semakin merengsek ke pagi, akhirnya kami di persilahkan istirahat di mushola, warga kampung lainnya dengan sukarela menyumbang selimut dan bantal untuk kami pergunakan, saya sendiri berdoa agar tidak meninggalkan bekas pulau abstrak di bantal.

Udara dingin memaksa kami untuk tidak lama-lama dalam gendongan malam, akhirnya kami bangun karena tidak kuat menahan udara dingin, Siangnya seperti yang sudah dijadwalkan setelah kami sarapan, kami menuju pelataran padang savana untuk melukis. Gunung Rinjani sangat jelas disini, kebetulan hari itu cuaca cerah ceria, sehingga kami dapat memandangnya dengan leluasa. 

Lama juga saya harus menemukan ide mau melukis apa, melukis realis? pemandangan apa adanya? atau naturalis, mengambil bagian yang indah-indahnya saja? ah itu sudah biasa. banyak orang yang mampu melakukannya. Setelah yang lain sudah hampir selesai, akhirnya dapat juga ide dari hasil perenungan bercampur ngelamun, biasa kalau sudah kepepet otak dan perasaan mau melakukan akselerasi dengan semangat untuk mencari ide. Namun sayang saya hanya bisa menyelesaikan pada tahap seketsa karena sore hari kami sudah harus kembali ke Mataram. 

Inilah hasil dari perenungan tadi.

Pada karnya ini saya berimajinasi bahwa tidak ada yang kekal dalam hidup ini termasuk semua bentuk keindahan kecuali hanya Sang Pencipta. Seperti juga Rinjani (saya masih bertanya kenapa gunung ini dinamakan Rinjani) dan gunuing-gunung lainnya suatu saat akan mengalami ketidak abadian. 

Saya membayangkan kalau Gunung Rinjani dan gunung-gunung lainnya adalah sebuah pesawat dari alam entah berantah yang di pasang di bumi untuk mengatur dan memproduksi sirkulasi air.
terbukti bahwa pulau-pulau yang ada pada garis cincin api adalah daerah yang subur. Nah ada kalanya pesawat  itu harus turun mesin atau refresh untuk memperbaharui kinerjanya, jadilah semacam letusan gunung. Tidak dapat disangkal juga bahwa setelah letusan, dalam beberapa dekade daerah yang terkena letusan tersebut akan kembali subur seperti semula. Untuk ukuran waktu manusia memang memerlukan waktu yang sangat lama untuk kembali pada keadaan seperti itu, namun bagi alam semesta itu adalah hal perlu dilakukan karena itu sudah bagian dari sistem.

Maka pada karya ini saya kasih judul "Jika Rinjani Ingin Pergi". Sebenarnya simpel pesan yang ingin saya sampaikan, mari kita menjaga lingkungan/alam, kalau tidak dengan menanam bersihkanlah, kalau tidak mampu membersihkan doakan dan hindari. Tak salah orang-orang tua kita dulu melarang memasuki daerah yang dikeramatkan. Itu sebenarnya tidak ada bedanya dengan gerakan sekarang seperti Greenpeace atau Global Warming. Kalau orang tua dulu memberi peringatan lewat keyakinan, orang sekarang lewat kesadaran.

begitulah kira-kira hasil dari perenungan bercampur lamunan selama berada di Desa Sembalun Bumbung.
Smapai jumpa Sembalun dan Rinjani, kalau ada sumur diladang bolehlah kita numpang mandi lagi






Gili Meno dan Keramahan KONTIKI cottage

habis gambar-nyebur lagi -habis gambar nyebur lagi, asik donk-enak dong-HAHAHA

Sunyi itu pilihan


Dimusababkan Gili Trawangan begitu membludak manusianya, karena pas bertepatan dengan perayaan tahun baru, maka dengan sukarela akhirnya kami menyingkirkan diri dengan teratur untuk selanjutnya kita menikmati tahun baruan di Gili Meno, lumayan nggak terlalu rame, tanpa kembang api dan tanpa segala macam tetek bengek musik hingar bingar, kami hanya mendengar sayup-sayup bunyi letup petasan dan kembang api dari kejauhan. Bagi yang suka menikmati pantai dipenuhi dengan kesunyian, disini tempatnya, ato yang mau hanimun juga menjadi sebuah pilihan yang tepat.

Kadang kita memang benar-benar ingin menikmati suara debur ombak dan gemericik pasir yang berbisik, hanya diam membisu, seperti pasir di pantai, menuruti ombak, kemanapu kau pergi, ikuti langkah kaki, dengan sederhana...

empat sekawan kalima panjer
Bicara pantainyapun gak kalah menarik dengan Trawangan, disini juga bisa snorkeling, diving dan segala jenis kegiatan wisata pantai lainnya, karena di depan Kontiki Cottage banyak yang menyediakan penyewaan alat-alat seperti itu, bahkan salah satu pengelola penyewaan adalah cewek bule dari espanyola, sayang ga sempat ke jepret karena waktu itu dia harus ke Mataram dulu untuk cari sesuatu

Keramahan Pemilik Kontiki Cottage


Menurut pemilik penginapan, di Gili Meno ada danau, cuman airnya asin, oleh penduduk lokal dimanfaatkan utnuk membuat garam, Luas dari pulau ini sekitar 150 ha, dengan cidomo; nama andong disana, berkeliling pulau bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Di sini juga ada Gili Meno Bird Park dan wisata buaya. Sayangnya waktu itu belum ada sekolah, sehingga anak-anak harus menyebrang untuk sekolah di Gili Trawangan atau di Gili Air.

Sekitar akhir tahun 70an kami datang kesini masih hutan belantara, lanjut pemilik Kontiki, listrik sama sekali belum ada. Nama Kontiki diambil dari nama sebuah kapal tepatnya rakit yang dipergunakan oleh beberapa orang Norwegia yang melakukan perjalanan dari Amerika Selatan dengan melintasi samudra pasifik menuju kepulauan Polinesia dengan hanya menggunakan rakit, dalam rangka membuktikan bahwa orang-orang Amerika Selatan sebelum masa Columbus, dapat berimigrasi sampai ke Polinesia dengan hanya menggunakan rakit. (kalau anda ingin lihat filmnya disini http://filmbagus21.com/kon-tiki-2012/).
    kami dan pemilik Cottage                  penulis dan Pemilik Cottage         ngobrol ngarol ngidul sambil presentasi karya 

Di Kontiki ini kami menginap 3 malam, selama kami disana kami benar-benar di jamu tanpa henti, dengan sapaan dan makanan plus minuman, terutama kopi. Kalau lihat review di tripadvisor tentang Cottage ini 80% bernada positif, terutama keramahan para staffnya, tidak berbeda dengan pemiliknya, yang selalu menyapa para tamu dan bertanya tentang pelayanan di Kontiki. Wisatawan yang datang ke Kontiki kebanyakan bule, turis lokal sangat jarang bahkan bisa dibilang tidak ada, kami aja dianggap kesasar bisa sampai sana.
Kontiki sebuah persinggahan yang membahagiakan. wandey albibek lah...





   





Percintaan Pertama dengan Gili Trawangan


Akhir tahun 2012 kami berempat berkesampatan pergi ke Nusa Tenggara Barat, dalam rangka acara berkesian/pameran lukisan. Selama proses berkesenian kami ditampung di rumah seorang teman yang baik hati nan budiman, Paox Iben dialah penggagas dari acara ini.

Ke Mataram rasanaya belum syahdu kalo ga mampir ke Gili Trawangan dan dua sodaranya yaitu Gili Meno dan Gili Air. Singkat cerita berangkatlah kami kesana, waktu itu bertepatan dengan mau tahun baru 2013. Dari Mataram kami dianter oleh teman sampai ke Senggigi, dari situ menyebrang dengan menggunkan angkutan berupa perahu seharga 10.000 per orang, ada juga sih yang nawarin dengan  speedboot, tentu saja kami sama sekali tidak tertarik, disamping tidak dapat menikmati perjalanan secara tradisional, yang jelas harganya tidak terjangkau! hahaha.

Sampailah kami di pulau yang saya impi-impikan sejak 6 tahun lalu, dengan suka cita berbumbu haru kami menginjakan kaki ke Gili Trawangan untuk pertama kalinya. Sejenak saya berhenti lalu melepaskan alas kaki untuk merasakan tanah pantai Gili Trawangan dan bersyukur bahwa alam semesta telah mengijinkan kami untuk menikmati segala bentuk keindahannya.

Barang-barang kami titipkan ke tempat temen punya kawan, lagi-lagi temen yang baik hati dan suka menolong, itulah gunanya teman, hehe. tanpa membuang waktu kita langsung keliling, kebetulan akhir bulan Desember curah hujan di sini lumayan sering jadi jalan agak becek, tapi terobati dengan tidak adanya kendaraan bermotor, itu yang bikin gak berisik jadi asik, kita bisa menyewa sepeda, atau andong yang berjejer di sepanjang jalan berdampingan dengan kios-kios penjual berbagai macam souvenir, pakaian dan kain pantai, sementara kafe-kafe berebut memberi senyuman kepada para pengunjung. Sayapun sempet menyewa sepeda untuk mengelilingi pulaunya, bagian barat pulau jalannanya masih berpasir dan sepi, jadi agak lumayan harus akselerasi ototnya, tapi tetep tergantikan dengan suasananya yang ruar biasa.

Di hari pertama kami bisa menikmati keramahan pantai dengan leluasa, mandi di pantai yang sebenarnya saya ga bisa berenang, hari kedua kelayapan bareng teman-teman mencoba membelah pulau dengan masuk ke pedalaman. Sebenarnya begitu sampai, dikepala ada pertanyaan bagaimana orang-orang ini buang sampahnya sedangkan pulaunya sekecil ini? ternyata pas keliling nemu juga tuh tempat pembuangan sampah, tapi kalau di sepanjang pantai sih lumayan cukup bersih, kecuali sampah-sampah bawaan ombak. Kalau kita masuk ke dalam lagi, banyak juga penginapan murah-murah untuk yang kantongnya ga berlebih bisa memilih daerah sini,

Hari ketiga tepat H-1 tahun baru, pengunjung semakin membludak banyak berdatangan sehingga pantai begitu rame dan riuh, akhirnya kami putuskan untuk menyebrang ke Gili Meno, maklum kami adalah kaum penikmat alam dalam suasana sunyi dan sepi, hanya deburan ombak yang menemani (kayak lagu jadinya).  Kebetulan salah satu dari kami punya kenalan di Gili Meno (lagi-lagi temen hehehe) maklum kami juga termasuk Para Pencari Gratisan

Sore baru bisa berangkat karena angkutan dari Gili Trawangan ke Gili Meno tidak sebanyak dari Trawanagan ke Senggigi.

Baduy dalam Menanggapi Pemilu#2

Lihat "Baduy dalam Menanggapi Pemilu#1"

Rupanya kang Jaori (sebut saja begitu karena saya agak sedikit lupa) ini penganten yang masih terbilang baru dan belum punya anak. hanya ada istrinya yang menjaga di rumah. Perempuan Baduy tidak menemani kami bertamu hanya sekali saja waktu mengantarkan minuman, sudah itu masuk lagi ke pawon atau dapur. Saya sempet minta di foto, namun kawan saya ga berani karena ini sudah masuk wilayah Baduy dalam.

Tampaknya kawan saya ini sudah kenal dekat dengan Kang Jaori, obrolan begitu akrab sambil penuh canda, sambil makan malam dengan hidangan ikan asin, kami berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, karena bahasa sunda orang Baduy tidak bisa dimengerti, nampaknya beda dengan bahasa Sunda Banten. Dari Kang Jaori saya mendapat bocoran tentang apa saja yang menjadi peraturan dan pantangan/pamali bagi orang Baduy dalam, diantaranya adalah :
  • - Semua jenis alat elektronik (modern) tidakk diperbolehkan. Untuk penerangan mereka munggunakan minyak kelapa, minyak tanah tidak diperbolehkan.
  • - Tidak boleh menanam singkong. Untuk dua hal ini saya pernah bertanya kepada kawan dari IPB bahwa minyak tanah itu merusak tanah, hingga tanah yang sudah kena minyak akan sulit untuk ditanami kembali. Sedangkan singkong adalah jenis tanaman umbi-umbian yang paling rakus menyedot gizi tanah, coba perhatikan tanah di sekitar pohon singkong akan terlihat kering dan gembur.
  • - Mandi tidak boleh pake sabun, mereka hanya memakai bahan dari tumbuhan sebagai alat cucinya. Pada saat itupun kami tidak mandi sampai keesokan harinya, karena kami sudah terbiasa menahan diri untuk tidak mandi dalam beberapa hari.
  • - Mereka memelihara ayam kampung, namun hanya di sembelih pada saat-saat ada upacara adat.
  • - Dalam perjodohan ditentukan oleh pemuka adat disana, jadi para pemuda/gadis disana tidak bisa memilih calon pasangannya.
  • - Di Baduy tidak ada hak kepemilikan tanah, adanya hak guna pakai, seperti juga di ladang ini. Kang Jaori menempati ladang hanya saat musim tanam, kalau sudah panen dia akan pindah ke ladang yang lain, dan ladang yang sekarang dia tempati, akan diganti oleh warga baduy lainnya, sistem rolling. Hak guna pake ladang ini hanya diperuntukan bagi mereka yang sudah menikah.
  • - Hak kepemilikan hanya berlaku untuk pohon yang punya nilai ekonimi, siapapun yang menanam pohon di hutan dialah yang jadi pemiliknya. seperti pada saat kami ngobrol ada temennya Kang Jaori yang datang menawarkan pohon duren seharga Rp. 400.000,-
  • - Tidak boleh merubah struktur tanah, mereka menanam padi tidak di sawah tapi di ladang. Begitupun cara membangun rumah, tiang rumah yang menyesuaikan, maka tidak heran kalau tiang rumah mereka tidak sama panjang.
  • - Tamu tidak boleh menginap secara berturut-turut, artinya jika kami ingin menginap 2 malam, setelah menginap semalam kami harus keluar dulu dari baduy dalam, baru ke dua malam berikutnya diperbolehkan untuk kembali, mirip penggunaan visa pada ketentuan negara.Gak kebayang siapa yang mampu melakukan perjanan bulak-balik seperti itu, dengan rute jalan kaki lumayan jauh dan naik turun bukit, hanya orang-orang yang punya niat kuat yang bisa menempuh perjalanan seperti ini. Bagi yang hanya penasaran dan cuma wisata seperti kami rasanya sulit terlaksana.
  • - Tamu hanya diterima di wilayah kampung Cibeo, sedangkan dua kampung lainnya Cikatawarna dan Cikesik tidak sembarangan orang bisa masuk kesana. Konon katanya baru Ully Sigar Rusadi yang sudah dapat masuk ke dua kampung tersebut.
  • - Orang Baduy dalam tidak diperbolehkan naik kendaraan, peraturan ini tidak berlaku untuk orang baduy luar, mereka diperbolehkan naik kendaraan dan menggunakan alat eletronik lainnya, seperti ada beberapa yang sudah punya hp, bahkan ada yang sudah punya akun FB.

Tidak terasa malampun semakin larut, kawanku menyarankan untuk segera tidur, karena besok paginya harus segera kembali ke perkampungan baduy luar untuk menyaksikan proses pencoblosan PEMILU, di dekat pintu gerbang masuk baduy, karena warga baduy dalam tidak ikut pada pesta demokrasi ini. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan pada pencoblosan PEMILU di Baduy luar ini, prosesnya hampir sama dengan tempat lainya di pelosok negri ini, hanya saja sedikit perbedaannya mungkin disini orang baduy luar memakai pakaian khas mereka yaitu hitam-hitam dan ikat kepala warna biru. Akhirnya setelah kawan saya ambil gambar secukupnya, kamipun kembali dengan memakai rute yag sama saat kami datang.

"Yang Panjang jangan di potong, yang pendek jangan disambung" itulah falsapah hidup mereka yang sampai sekarang masih mereka pegang teguh. sederhana memang, tapi mereka mentaatinya dengan sepenuh hati dan penuh keyakinan. itu yang menjadikannya mereka bisa bertahan sampai sekarang. Bagaimana dengan falsapah hidup negara kita? itu lain cerita.


Baduy dalam Lagu

BADUY    

Cipt : Acil Aliancah


Satu dua hari
dibalik dinding moyangku
negeri tersembunyi
diatas tanah nan suci

bukit-bukit sunyi
tegar dikaki langit
hutan melingkar lindungi
sembahyangnya para dewa para dewi disini


Reff :
Kaki telanjang berjalan
Sentuh bumi dan ilalang
Menapak pagar budaya alam
Tak hirau hiruk pikuknya jaman

Sahaja hidup dijiwanya
Rakus tak mampu menggilasnya
Bersabar tunggu datangnya pagi
Bersiap rengkuh sunyinya malam

Ikat kepala, putih sedikit lusuh
Wajah yang tenang tersenyum ramah mengundang
Tubuh bergerak tetap akrabi bumi
Tangan mengelus tanah-tanah
Para dewa-para dewi penunggu disini.

Duren tiga, oktober 2004.